Saturday, May 29, 2021

Inner Child

Saturday, May 29, 2021 0 Comments

 1. Kegiatan favorit di masa kecil: bernyanyi, menari, lihat barbie, bersepeda, bikin hasta karya, nulis puisi. Alasan: karena aku suka aja, menyenangkan, bikin mood bahagia.

2. Sekarang aku ga pernah bersepeda ataupun bikin hasta karya karena memang ga ada waktu, ada hal yang lebih ku prioritaskan, dan terakhir mungkin karena malas. Aku merasa sekarang aku sudah punya kesibukan, sedangkan dulu aku masih punya banyak waktu. Aku pernah sekali dua kali bersepeda dengan adek sepupu yang masih SD, itu pun hanya menemaninya. Aku tak pernah membuat hasta karya lagi semenjak aku beranjak dewasa ini.

3. Bakatku waktu kecil mungkin lebih ke seni ya. Aku suka segala hal berkaitan dengan seni. Aku punya bakat di bidang kerajinan. Tapi, sejujurnya aku senang mencoba segala hal dan aku bisa segala hal, hanya saja tidak sampai aku mahir di suatu bidang. Aku juga senang memasak. Reaksi orang ketika aku SD masih awal-awal belajar memasak, meski hanya sekadar membuat mie instan ala aku sendiri, mereka tampak senang dan mempercayaiku bahwa mie buatanku paling enak. Senang rasanya waktu itu. Selain itu banyak yang suka juga dengan hasta karya yang aku buat. Suatu ketika aku ingat pernah ditanyai seseorang tentang apa cita-citaku, aku menjawab sekenanya, "Aku ingin jadi chef!". Ya, karena aku suka masak. Tapi, langsung orang tua dan yangtiku bertatapan tidak enak padaku, lalu marah saat sudah di rumah, mereka berkata, "Cita-cita itu yang tinggi, jangan memalukan kami, malu kalau orang 'batin' cita-citamu ga tinggi. Cita-cita itu ya jadi dokter, jadi ilmuwan, dan profesi yang bagus lainnya." Yaa, mungkin kurang lebihnya seperti itu, karena ucapan aslinya pakai bahasa jawa. Aku sempat syok menghadapi respon mereka dan yaa ga berani lagi. Akhirnya aku berusaha mencari-cari apa yang cocok buat aku; ilmuwan. Yap, akhirnya aku meyakinkan diriku buat jadi ilmuwan dan bakal kuliah di UI jurusan yang berbau IPA. Lucu sih hehehe.

4. Aku senang kehidupan masa kecilku karena aku bisa mengeksplor banyak hal. Hampir segala bidang aku bisa. Karena memang selalu diberi kesempatan untuk mencoba, hingga akhirnya aku menyukai banyak hal. Meski aku tak bisa hebat di salah satu hal.

5. Cita-citaku waktu kecil adalaah... ilmuwan.

6. Kegiatanku waktu kecil adalah bermain dan belajar. Seperti bersepeda, 'pasaran', bernyanyi, bermain acting, menyanyi, aku juga suka belajar. Aku rasa cukup punya kebebasan dalam memilih, tapi juga suatu kala ketika apa yang aku pilih menurut mama ayah itu salah, pasti aku dimarahin besar-besaran dan akhirnya aku makin kesini juga takut buat memutuskan pilihan sendiri. Yaa bisa jadi si mengikuti kemauan orang-orang di sekitarku.

7. Hobiku sekarang adalah menonton film, edit video, fotografi, videografi, desain, yaa masih berbau seni, cuma beda rupa aja. Aku senang ketika aku merasakan kebebasan menikmati hidupku, seperti berkeliling kota, traveling ke pantai ataupun gunung, aku sukaa kebebasan sambil menghirup udara segar.

8. Hal-hal yang tidak nyaman aku rasakan waktu kecil adalah ketika: di awal waktu aku merasa enjoy dan senang, lalu suatu ketika aku melakukan suatu kesalahan yang bahkan aku tidak mengerti bahwa itu suatu kesalahan, mama ayah marah padaku, dan seketika mood ku dari yang awalnya senang langsung berubah muram. Sampai saat ini, dewasa ini juga masih sering kurasakan. Aku gatau kenapa juga sampai saat ini aku masih menjadi orang yang aneh, yang punya cara sendiri, berbeda, dan menurut orang tuaku itu adalah suatu kesalahan. Aku menghadapinya waktu kecil dulu ya haya pasrah, aku nunduk, dan dalam hati berusaha: tolong lupakan semua ini, aku tidak nyaman berada pada perasaan bersalah. Aku memikirkan bahwa diriku benar-benar aneh, salah, bodoh, dll, aku berpikir bahwa orang lain mungkin memang ingin yang terbaik buat aku, tapi aku juga merasa: seharusnya bisa dong memberitahu aku pelan-pelan, tidak langsung menusuk ke hati, dan membuatku benar-benar merasa bersalah. Yang tahu tentang masalahku ya sudah pasti hanya diriku sendiri. Tiap kali aku mencoba ingin menjelaskan ke mama ayah, pasti mama selalu langsung tidak setuju dan tidak memberi aku waktu untuk menjelaskan, dan aku sendiri juga masih terlalu takut untuk melanjutkan dan speak up. Sedari kecil aku merasa tidak begitu nyaman untuk mempercayai seseorang, bahkan mama atau ayahku sendiri. Karena memang seringkali aku melakukan kesalahan pasti langsung kena marah. Padal aku ingin sekali mama ayah menjelaskannya pelan-pelan dengan bahasa yang halus dan tidak menusuk hati. Karena kalo udah sekali 'kejentok', pasti diriku selalu merasa: aku harus melupakan semua ini sekarang juga, aku tidak ingin ingat lagi, karena aku tidak suka berada di perasaan bersalah dan disalahkan dan diungkit-ungkit. Tapi memang begitu adanya.

Saturday, February 27, 2021

Ujung Jalan yang Tak Bertepi

Saturday, February 27, 2021 0 Comments

February, 27th 2021


Dear Diary,


Jadi hari ini aku pergi ke Tuban bersamanya. Tadi pukul 6.30 aku berangkat. Kami melewati jalur atas. Tujuan kami adalah Pantai Remen. Ketika sampai di daerah Merakurak kalau tidak salah, kami pun berhenti di Indomaret untuk sarapan. Itu sekitar pukul 8.00. Aku juga tak tahu mengapa perjalanan terasa sangat lama. Kami pun makan sekitar 30 menit atau mungkin lebih. Selanjutnya kami lanjut perjalanan lagi yang masih kurang belasan kilometer. Akhirnya kami pun tiba di Pantai Remen pada pukul 9.50. Aku juga tak tahu mengapa selama itu. Seumur hidup aku pergi bersama orang tuaku pasti selalu cepat di perjalanan. Padahal jarak rumah ke tujuan kami, Pantai Remen, hanya sekitar 50 km. Jujur, dia mengendarai motornya dengan cukup pelan menurutku. Dia tipikal orang yang slow, kalem, dan segala sesuatu hal dilakukan dengan pelan-pelan. Dalam keluarganya pun begitu. Mendengar dari cerita-ceritanya. Keluarganya juga begitu (aku tak tahu bagaimana menyebutnya, yang jelas sangat bertolak belakang dengan keluargaku yang sangat 'cekat-ceket', serba cepat dan dengan perhitungan yang pasti). Seringkali dia cerita, ketika berangkat ke suatu tempat, entah barang bawaan orang tuanya ada yang tertinggal, entah lupa belum mengisi e-toll, entah terlalu lama mempersiapkan diri dan akhirnya tidak tepat waktu. Juga tipikal cara mengemudi yang ada di keluarganya adalah pelan, menurut aku. Bayangkan saja, perjalanan dari Solo-Bojonegoro via toll mereka tempuh 4-5 jam plus berhenti untuk istirahat. Sedangkan tipikal mengemudi keluargaku saja, tol Solo-Ngawi bisa ditempuh 30 menit. Lalu, Ngawi-Bojonegoro hanya 1,5-2 jam, yang artinya, Solo-Bojonegoro atau sebaliknya bisa keluarga kami tempuh hanya dalam waktu 2-2,5 jam. Sangat bertolak belakang tentunya dengan keluarganya. Sedari tadi dalam perjalanan aku katakan, agak cepat gapapa. Kencengan. Ngebut. Yang penting tetep safety. But, it still can't. Dia bilang motornya tidak bisa diajak kencang. Tapi, menurutku juga memang dia tipikalnya kalem, tidak bisa 'wet wet wet', dan memang itu bawaan dari keluarganya. Juga tidak bisa satu kali tempuh. 


Aku dan dia banyak berhenti untuk istirahat, entah di indomaret, masjid, ataupun pom bensin, yang mana di keluargaku hal ini sangat sangat sangat jarang terjadi. Terlebih hanya perjalanan di bawah 120 km. Kalau tidak benar-benar kebelet, ndak bakal keluargaku berhenti selama perjalanan. Sedangkan tadi aku dan dia ke Tuban saja ada 5x berhenti untuk beristirahat, shalat, ataupun makan. Ya, aku tahu, dia kelelahan, dan tangannya sampai ngapal karena bawa motor hampir 12 jam. Sungguh aku sangat sedih melihat kondisinya. Tapi, di lain sisi aku juga bingung. It's not my family typical. Alhasil, aku kena marah dong sedari tadi aku tiba di rumah pukul 17.00 hingga saat ini pukul 21.00. Ini karena aku di Tuban memakan waktu hampir 12 jam. Note: HAMPIR 12 JAM. Aku anggap, yaudalah, santai aja. Tapi, kok ternyata semakin ke sini semakin dibahas dan nyamber ke hal-hal lainnya. Terus-terusan disidang. Padahal tujuan aku tadi juga cuma ke pantai aja, itu pun kami sangat menghemat waktu buat tidak berlama-lama. Aku sudah berusaha jujur sebisa mungkin ke kedua orang tuaku. Tapi, mereka masih mengelak seakan tidak percaya bahwa aku sedang jujur. Tidak percaya bahwa perjalanan bisa ditempuh selama itu. Tidak percaya. Tidak percaya. Dan tidak percaya.


Di satu sisi aku ingin menangis. Kenapa? Kenapa mereka tidak percaya? Kenapa kenapa kenapa. Banyak sekali tanda tanya dalam benakku. Tidak hanya masalah tidak percaya saja. Juga, diriku sendiri dalam keluargaku dilabeli sebagai pribadi yang sangat lelet dan lambat. Orang tuaku setiap hari selalu marah hanya karena aku tidak fast-thinking, memiliki pemikiran yang aneh dan berbeda, pribadi yang useless-able. Karena mama dan ayahku paling tidak suka dengan orang-orang yang lambat. Tetapi, selambat-lambatnya aku, sepertinya juga tidak akan selambat perjalanan hari ini. Orang tuaku selalu ingin aku untuk menjadi pribadi yang kuat, tidak lembek, dan cepat. Dan ketika aku mendapatkan calon, seseorang yang bagiku spesial ini, bahkan orang tuaku juga menyebut jika calonku ini pribadi yang lambat. Terlebih sering kali apabila aku dan dia ada janji, dia sangat sering tidak tepat waktu. Entah ada saja yang terjadi. Dan itu juga membuat orang tuaku sedikit percaya-tidak percaya, kesal, dan juga mengejekku tentunya. Keluargaku begitu disiplin. Tapi, bukan berarti keluarganya tidak disiplin yaa.. Gimana ya, aku bingung untuk mendeskripsikannya. Intinya ya itu tadi, mindset keluarga kita berbeda. Aku kok juga jadi stress sendiri kalo orang tua terus memarahiku karena perjalanan tadi tidak bisa on-time, efisien, cepat, dan planning-able. Karena dalam keluargaku, segala sesuatu hal harus direncanakan dengan matang, sematang-matangnya. Semua memiliki penakaran yang terperinci dan dengan sangat sesuai.


Mungkin saja entah siapapun kalian yang membaca ceritaku ini akan bingung menangkapnya. Tapi, begini adanya, aku pun juga bingung harus bagaimana mendeskripsikannya. Tapi, aku ingin menyampaikan apa yang membuatku gundah saat ini. Aku sangat sangat minta tolong, berikan saran dan masukan yang membangun bagiku untuk mengatasi kegundahan hati ini. Haruskah aku sampaikan ke dia, apabila tipikal keluarga kami berbeda? Atau haruskah aku bersabar dan yakin kalau kami bisa menyatukan dua keluarga ini dengan perlahan nantinya? Atau hal apa yang seharusnya aku lakukan? Tolong...


Terima kasih telah membaca kisahku hari ini. Sampaikan juga terima kasihku pada semesta, karena telah mempertemukanmu dengan kisahku ini dan memberikan saran serta masukan yang membangun.


Ferly Arvidia,