Sunday, February 6, 2022

Kata "Tapi" yang Tak Berujung

Sunday, February 06, 2022 0 Comments

Dear diary, 


Sudah cukup lama aku tidak bersua. Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan saat ini. Kau tahu, segala hal terjadi berbalik arah dari apa yang seharusnya terjadi. Aku tak tahu mengapa ini terjadi. Hei, tidakkah kau menanyakan kabarku hari ini? Aku jatuh. Aku berada di titik terendah dalam hidupku. Kehidupanku dengan Sang Pencipta-ku, dengan orang tuaku, dan dengan pasanganku. Semua berada di titik yang mana aku tidak tahu harus berbuat apa.


Satu hal yang aku tahu pasti adalah aku harus memperbaiki hubunganku dengan Allah. Allah Yang Maha membolak-balikan hati hamba-Nya. Aku tidak tahu apa yang harus aku ceritakan. Tapi, di dalam otakku terus berputar kata "tapi" yang tak berujung. 


Sedari awal aku kembali dengan pasanganku saat ini, sekitar 3 tahun lalu, setelah kami menyatakan break selama kurang lebih 2 tahun. Aku menemui beberapa hal yang kurang mengenakkan dan membuatku berpikiran untuk mundur sedari awal. Dia adalah seorang yang berasal dari pondok pesantren, di mana dia dibentuk oleh orang tuanya untuk menjadi seorang yang baik dalam segi agamanya. Sehingga tak menutup kemungkinan apabila orang tuanya juga menginginkan dia memiliki calon pendamping hidup yang setara dengannya, sosok perempuan yang sebaiknya berasal dari pondok pesantren juga dan memiliki pengetahuan agama yang baik. 


Sedangkan aku hanyalah seorang gadis umum yang sangat awam dengan hal-hal agamis dan tidak bisa dipaksa dengan keras untuk tiba-tiba dipertemukan dengan dalil-dalil shahih yang ternyata selama ini apa yang aku lakukan banyak tidak sesuai dengan agamaku sendiri, Islam. Hal ini bagiku terasa seperti jarak di antara kami yang seakan-akan kami berbeda agama atau keyakinan.


Saat awal kami bersama kembali waktu itu, aku masih sering berkutat pada seni musik. Aku membuat video cover menyanyikan lagu-lagu yang aku sukai. Aku membuat film-film pendek yang tentunya juga memerlukan musik. Aku sama sekali tidak bisa terlepas dari musik saat itu. Dan saat itu juga, tiba-tiba dia menyampaikan padaku bahwa musik adalah suatu hal yang haram dalam Islam. Bayangkan saja, seorang gadis yang tidak tahu menahu tentang ajaran-ajaran itu sebelumnya, tiba-tiba mendapatkan kenyataan seperti itu, tentu aku hancur seketika. Aku merasa seperti aku tidak bisa lagi melanjutkan mimpi-mimpiku. Aku merasa kami mungkin tidak sevisi-misi. Meski aku sangat menghargai dia ingin mengingatkan kebaikan untukku ke depannya. Tapi, bagiku cara penyampaiannya saat itu adalah suatu kesalahan. 


Pada akhirnya aku memilih untuk bersabar dan berkeyakinan bahwa pasti dia bisa sedikit demi sedikit berubah menjadi lebih baik. Aku yakin bahwa dia akan semakin halus dalam menyampaikan segala sesuatu hal yang bisa saja membuatku syok ketika mendengarkannya pertama kali atas kebiasaanku selama ini. 


Pada saat awal kami bersama kembali juga, aku mendapati bahwa dia menceritakan tentang masa lalunya dengan seorang gadis dari pondok asal Medan itu, yang tentunya jauh lebih syar'i dan jauh lebih tinggi daripada aku. Jauh lebih putih dan lebih cantik tentunya. Kau tahu, bagaimana aku bisa menahan seluruh rasa insecure pada diriku saat itu? Dia menceritakan juga tentang orang tuanya yang menginginkan dia memiliki pendamping hidup yang setara juga dengannya. Dalam artian, selama ini orang tuanya sudah membentuk dia sedemikian rupa untuk menjadi seorang lelaki yang sangat baik agamanya. Selama ini, orang tuanya menyekolahkan dia di sekolah-sekolah yang fokus dan baik tingkat ajaran agamanya. Tentu orang tuanya juga berkorban dan berusaha banyak hal untuk bisa menyekolahkan dia di sekolah yang berfokus pada agama yang kita tahu bahwa sekolah-sekolah semacam itu biayanya tidaklah sedikit. Tentu orang tuanya juga memiliki keinginan yang besar agar anak laki-laki satu-satunya dapat menjadi imam yang baik dan memiliki pendamping hidup yang baik pula. 


Kau tahu, apa yang aku rasakan? Aku berpikir apa baiknya aku mundur sedari awal. Tapi, lagi-lagi hatiku berkata, bersabarlah, semua akan menemui kebaikan. Hingga akhirnya aku memilih untuk tetap tersenyum dan berkata pada diriku bahwa aku bisa melalui semuanya. Hatiku selalu berusaha agar otakku terus berpikiran positif dan lama-lama perasaan yang sangat sangat sangat dalam itu tercipta dalam lubuk hatiku. Aku sudah terjatuh dalam perasaan cinta yang begitu dalam.


Beberapa waktu kemudian memang yang kutemui adalah dia yang pada akhirnya menyadari bahwa untuk mencapai angka sembilan, tidaklah harus menambahkan angka satu dan delapan. Tapi, untuk menuju angka sembilan, tentu ada banyak cara yang dapat dipilih. Pada dasarnya adalah dia tidak harus menyampaikan segala sesuatu hal tentang agama terlalu keras padaku, tapi untuk mengajarkanku agama yang baik, dia bisa memilih cara yang halus agar lama-lama aku juga bisa memiliki kehidupan agama yang baik pula. Tentunya aku sangat bersyukur kala itu. Suatu sore yang dingin dibalut hujan deras dan kami berteduh di depan toko yang ramai juga dengan orang-orang yang sedang berteduh. Kala itu, seorang gadis berusia 19 tahun merasa sangat bersyukur telah dipertemukan dengan seseorang yang baik hatinya.


Kehidupan terus berjalan baik hingga gadis itu menemui usianya yang menginjak 21 tahun, ya, aku. Bulan April tahun lalu, aku diajaknya menjenguk abinya yang saat itu dirawat di rumah sakit. Aku diajaknya bertemu kedua orang tuanya. Jujur aku sangat gugup dan berdoa sungguh-sungguh agar kedua orang tuanya bisa menerimaku dengan baik. Yang kutemui saat itu adalah abinya yang bersikap dingin padaku. Aku tahu karena dia pernah menyampaikan apabila watak abinya memang seperti itu, terlebih pada orang yang baru dikenal. Terlebih juga abinya yang waktu itu dirawat dan masih dalam keadaan yang kurang sehat. Aku juga menemui ibunya. Aku berusaha bersikap ramah dan penuh senyum, meski yang kutemui adalah ketakutan. Ketakutan apabila orang tuanya belum bisa menerimaku dengan baik. Kau tahu tidak, apa yang diucapkan ibunya saat itu? Ibunya menanyakan padaku, apakah aku yakin untuk menjadi pendamping hidup putranya yang saat itu masih mencoba mendaftar Perguruan Tinggi, sedangkan aku sudah berada di semester enam pendidikan sarjanaku. Kami memang terpaut satu tahun lebih, hampir dua tahun aku lahir lebih dahulu. Aku saat itu dengan mantap menyatakan bahwa aku yakin dan aku siap. Beberapa waktu kemudian, beliau menyampaikan padaku bahwa beliau sebenarnya ingin bahwa putranya melanjutkan kuliah di Madinah saja, tidak perlu mendaftar kuliah di Indonesia, tidak perlu mendaftar SBMPTN yang saat itu sedang dia pilih.


Aku sebagai perempuan yang berusaha menjadi pasangan yang baik bagi putranya, tentu mengatakan bahwa tidak ada salahnya seseorang mencoba beberapa kesempatan yang bisa menjadi peluangnya mendapatkan rezeki. Kita tahu rezeki sudah ada yang mengatur. Akan tetapi, kita juga tidak bisa memaksakan bahwa suatu hal harus menjadi rezeki kita. Jadi, tidak ada salahnya dia mengambil beberapa peluang yang ada. Kala itu, aku tahu ibunya kurang setuju terhadap pemikiranku. Ibunya juga mengingatkanku bahwa saat ini yang terbaik adalah menguatkan hubungan kita dengan Allah, dengan rajin mengaji dan mendekatkan diri pada Allah. Tentu aku sangat menerimanya dan bagiku itu adalah hal yang sangat tepat. 


Aku merasa bagaimana pun jalan yang dia pilih, insyaallah menjadi jalan yang terbaik untuknya karena dia lakukan juga karena Allah. Kita kembalikan seluruhnya pada Allah, Sang Pencipta. Aku sebagai pasangannya akan selalu mendukung apapun yang dia pilih selagi hal tersebut tidak salah dan tidak dilarang dalam agama kami. Kala itu, aku memasrahkan segalanya pada Allah. Tentang sikap yang ditunjukkan orang tuanya saat bertemu denganku. Juga tentang pikiran-pikiran bagaimana orang tuanya dapat menerimaku dengan sepenuhnya. Aku juga berpikir, mungkin saja mereka memang belum mengenalku dengan baik. 


Sebulan lagi aku menginjak usiaku yang ke-22 tahun. Beberapa hari lalu, aku dihadapkan pada kenyataan bahwa ibunya berpikiran aku telah menghalangi putranya dalam mencapai mimpinya sekaligus mimpi kedua orang tuanya agar putranya melanjutkan studi di Madinah. Jujur aku sangat syok seketika. Selama ini aku tidak pernah menghalangi sedikit pun mimpi-mimpinya. Aku selalu mendukungnya. Selagi dia membutuhkan masukan, aku selalu hadir untuk memberikannya saran yang terbaik. Orang tuaku bertanya padaku, apakah selama ini aku pernah menghalangi dia? Tentu aku berkata sejujurnya bahwa selama ini aku tidak pernah menghalangi mimpi-mimpinya. Mungkin saja memang betul bahwa orang tuanya belum mengenalku dengan baik dan tidak menangkap dengan sesuai maksud kalimatku kala itu, di rumah sakit. Aku berusaha bersabar. Tapi, aku juga kembali mengingat masa-masa lalu di mana aku pernah berpikiran untuk mundur sedari awal.


Kini hubungan kami hampir mencapai enam tahun. Tentunya perasaan ini sudah sangat begitu dalam padanya. Orang tuaku selalu mengingatkanku agar aku tidak memiliki perasaan yang terlalu dalam padanya dan tidak berharap lebih padanya, karena belum tentu orang tuanya dapat menerimaku seutuhnya yang mana aku bukanlah gadis dari segi agama yang baik dan tidaklah berasal dari pondok pesantren. Tapi, aku tidak bisa mendustai perasaanku sendiri. Apakah kau mengerti apa yang kurasakan saat ini? Ya, aku jatuh dalam lubang yang sangat dalam, sehingga aku tidak tahu lagi apa yang harus aku lakukan? Apakah sebaiknya aku tetap bertahan? Apakah sebaiknya aku segera mundur? Karena daripada apabila terlalu lama aku tidak memilih suatu keputusan, ternyata nantinya kami hanya menunda kepedihan? Tolong aku. Aku tidak tahu apa yang sebaiknya harus aku pilih. Aku sudah sangat mencintainya dan kami memiliki ikatan batin yang sangat sangat kuat. Aku tidak pernah menyangka sebelumnya akan terjebak dalam lubang perasaan yang begitu dalam ini.


Siapapun yang membaca tulisanku ini, aku sangat minta tolong untuk memberikan saran padaku pada kolom komentar. Apa yang sebaiknya harus aku lakukan? Apakah hubungan ini akan terus baik-baik saja hingga nanti kami menikah? Akankah aku terus menutupi tangisanku dan bersikap seolah semua baik-baik saja? Apakah ada yang salah dari pemikiranku? Apakah sebenarnya semua memang baik-baik saja dan hanya hatiku saja yang berlebihan? Tolong bantu aku dalam memilih keputusan apa yang sebaiknya aku lakukan. 


Terima kasih banyak telah menyisakan waktu untuk membaca tulisanku ini.


Lilly,