Saturday, March 21, 2020

I Just Hate Being Myself

Saturday, March 21, 2020 0 Comments
Dear Diary,

Aku tak tahu apa yang harus aku lakukan lagi. Aku merasa menjadi manusia paling tak berguna di dunia ini. Aku merasa tak ada yang memberi dukungan. I just hate being myself.

Awalnya, semua baik-baik saja. Aku senang menjalani hari yang penuh warna. Ceria. Bahagia. Senang. Tanpa amarah. Aku sangat senang menjalani hobi-hobiku selama berada di rumah. Di kala kuliah sedang diliburkan, karena adanya pandemik yang kuharap akan kunjung usai ini. Akan tetapi, semua berubah ketika itu terjadi.

Sejujurnya aku adalah seorang yang tak mampu menerima kritik dan ucapan yang menusuk dengan begitu saja. Seringkali sedari masa kanak-kanak, aku menerima banyak ucapan menusuk yang sebenarnya tidak bisa ku terima. Aku lelah dengan menjadi diriku sendiri. Seakan-akan aku hidup hanya untuk memuaskan orang lain. Aku tak bisa jika harus terus begini. Beberapa teman yang melontarkan ucapan itu padaku, rasanya aku telah muak. Tetapi, bahkan seorang ibu yang telah melahirkanku saja juga seringkali memberi ucapan menusuk itu padaku. Di kala aku berjuang dengan yang namanya jerawat. Di kala berat tubuhku kian bertambah. Aku menyadari begitu banyak kekurangan dari diriku ini. Tapi, aku sadar. Aku sadar untuk memperbaikinya. Cukup dengan berniat pada diri sendiri dan berkata bahwa aku bisa.

Tentu semua tidak semulus itu. Jika aku tetap seperti itu, berdamai dengan diriku sendiri. Cukup berniat dan melakukannya, lalu yaa berat tubuhku tetap terjaga dan aku juga bisa mengatasi jerawatku sendiri atas izin Allah. Akan tetapi, semua berubah. Dari yang awalnya damai, menjadi hal yang tidak aku inginkan. Aku paling tidak senang dengan pertikaian. Tapi, itu terjadi begitu saja. Ketika ibu yang melahirkanku mengatakan hal yang menyakitkan padaku, hingga membandingkanku dengan yang lain. Itu adalah hal yang paling menyakitkan bagiku. Sungguh kala itu aku tak bisa menahan egoku. Tak sadar kalimat dengan nada tinggi ku ucapkan, aku merasa seperti mengalami bullying secara tidak langsung dari ibuku sendiri. Padahal sebenarnya aku mengerti, memang itu cara orang tuaku sedari aku kecil untuk mendidikku menjadi orang yang kuat. Tertempa. Tahan dengan dunia yang keras. Aku sadar jika apa yang beliau ucapkan adalah sebuah kebenaran atas ketidaksempurnaanku dan aku yang tak dapat mengontrol diriku dengan baik. Namun, dewasa ini sejujurnya yang lebih ku butuhkan adalah sebuah dukungan. Bukan kalimat-kalimat menusuk yang bukannya membangun, tapi malah membuat diriku semakin terpuruk.

Aku tak tahu lagi harus bercerita pada siapa. Aku merasa sepertinya aku membutuhkan seorang psikiater yang dapat menyembuhkan mentalku ini. Juga aku berjanji pada diriku sendiri, jika aku memiliki buah hati nantinya, aku tidak akan memperlakukan anakku seperti yang aku alami. Efeknya akan lebih panjang tersimpan sepanjang hidupnya, bahkan sampai ia tua renta nanti. Just like me.

Tadi pagi, awalnya semua juga berjalan baik-baik saja. Aku berniat untuk menjalani diet yang akan aku lakukan. Aku telah mengonsumsi sebuah apel yang baru saja ku beli kemarin sore. Akan tetapi, tiba-tiba ibuku memanggilku untuk makan. Aku yang keras hati berniat untuk diet, karena aku juga tak kuat lagi menanggung ucapan-ucapan menyakitkan itu. Aku bersikeras untuk tetap tidak sarapan. Namun, ibuku berkata akan menyita HP-ku dan tidak diizinkan berhubungan lagi dengan dia yang insyaallah akan menjadi pendamping hidupku nantinya. Hingga ibuku kian murka dan berkata bahwa aku adalah anak durhaka. Tidak bisa dikasihani orang tua. Hingga aku diusir untuk kembali ke kota perantauanku, daripada hanya membuat amarah di rumah. Aku tak tahan lagi. Aku menangis sebisa mungkin. Aku hanya tak kuasa menerima ucapan-ucapan layaknya ejekan dari ibuku ketika aku sedang mengalami hal-hal sulit. Aku merasa telah memiliki caraku sendiri untuk mengatasinya, tetapi tiba-tiba orang tuamu memiliki cara yang berbeda dengan kalimat menyakitkan dan kalimat-kalimat perbandingan lainnya yang tentunya akan semakin menciptakan gejolak di dalam hati hingga membuncah dan siap meledak kapan saja.

Ibuku berkata bahwa paling tak suka dengan pertikaian. Dalam hati aku pun berkata, begitu pula aku. Tapi, juga kalimat yang ibuku ucapkan kemarin sore sangat menyakitiku dan membuat diriku tak bisa berdamai dengan diriku sendiri. Bahkan sampai saat ini pun aku belum berani menyampaikan sepatah kata maaf pada ibuku sendiri. Aku masih tak siap jika air mata ini jatuh lagi, sehingga ibuku kembali tidak senang melihatku terus-terusan menangis. Lalu berkata, "Kayak diapakan aja, orang juga ndak diapa-apakan." Tapi bagiku, ini hal yang paling menyakitkan untukku.

Aku tak tahu lagi apa yang harus aku lakukan. Jika tak sengaja orang tuaku membaca ini. Ma.. Yah.. Maafkan Nindi yang tidak tahu diri ini. Yang belum bisa mengontrol emosi ini. Dan yang belum bisa menerima segala ucapan menyakitkan dengan legowo begitu saja. Maafkan Nindi yang penuh kekurangan ini. Aku minta maaf belum bisa membuat kalian bangga dengan memiliki anak tunggal sepertiku. Maafkan keegoisanku selama ini. Maafkan Nindi... 😭😭😭

Terima kasih, sudah selalu mau mendengar cerita-ceritaku di masa-masa kelabilanku ini. Aku berharap akan ada jawaban membangun yang akan memperbaiki semua kerumitan ini. Terima kasih untuk segalanya.

Lilly,