Fair
and Early
Perkenalkan nama aku Kinara Az Zahra
Putri. Biasanya aku dipanggil Nara oleh orang-orang di sekitarku. Aku masih
duduk di bangku kelas 8 SMP. Aku adalah anak tunggal dari pasangan Hasan
Kurniawan dan Amanda Putri Gisella. Dahulu aku hidup bahagia, keluargaku sangat
harmonis. Mama, papa, mereka berdua sangat baik. Mereka sangat sayang
terhadapku. Senang rasanya ketika masih bisa merasakan kasih sayang kedua orang
tua. Tapi sekarang, semua kebahagiaan itu telah lenyap dimakan waktu.
Sejak kejadian itu. Dimana ketika
itu, kami akan berlibur ke pantai. Ketika papa akan menyalip, ternyata dari
arah berlawanan ada truk berkecepatan tinggi. Dan tabrakan pun tidak dapat
terhindarkan. Mobil kami terseret beberapa meter ke arah lawan. Setelah truk berhenti,
mobil kami telah penyok. Dan banyak orang berkerumun berniat untuk menolong
kami. Berhasil. Aku dan mama terselamatkan. Tapi, ternyata nyawa papa tak bisa
terselamatkan. Kepalanya terbentur kaca mobil hingga papa kehilangan banyak
darah. Mama dan aku hanya luka-luka sedikit, tidak terlalu parah.
Dan sekarang, satu tahun setelah
kejadian itu. Mama sudah menikah dengan ayah. Papa tiriku. Aku yakin, pasti
ayah juga baik dan sayang terhadapku seperti kasih sayang yang diberikan oleh
papa waktu lalu. Sekarang aku juga tidak menjadi anak tunggal lagi. Aku sudah
memiliki kakak baru. Dia kelas 11 SMA, tiga tahun lebih tua dariku. Dia bernama
kak Refica Ananda Salsabila. Dia biasa dipanggil kak Fica. Dia cantik dan
manis, walaupun tidak terlalu pintar, tetapi kak Fica sangat terkenal di
sekolah karena kecantikannya.
“Praaang…” terdengar suara piring
pecah dari lantai bawah. Sementara saat itu aku sedang berdandan di kamarku di
lantai atas. Aku pun langsung turun ke bawah melihat apa yang sedang terjadi.
Dan hendak menolongnya. Tapi …
“Suara apa itu? Mama tidak ingin
mendengar kalau piring kesayangan mama yang pecah.” Teriak mama dari ruang
makan.
“Iya Ma, memang benar piring
kesayangan mama yang dipecahkan sama Nara.” Tiba-tiba kak Fica seenaknya
menuduhku. Padahal aku sudah berusaha membantunya membersihkan pecahan piring
itu.
“Apa benar Nara, kamu yang
memecahkan piring mama?”
“Enggak Ma, enggak. Beneran Ma, aku
jujur. Aku enggak mecahin piring mama. Yang mecahin piring mama itu …” belum
selesai bicara, kak Fica malah memotong pembicaranku.
“Bohong Ma, Nara anak mama-lah yang
sudah memecahkan piring mama. Nara! Jujur dong sama mama. Anak kecil udah
berani bohong. Itu enggak baik tau!” bentak kak Fica membantahku. Padahal dia
sendiri yang sudah berbohong. Gitu pake nuduh-nuduh aku segala. Karena aku tak bisa berbuat apa-apa
lagi. Akhirnya aku pun menangis. Ternyata mama lebih membela kak Fica,
ketimbang aku anak kandungnya sendiri. Dan aku dihukum enggak boleh berangkat
sekolah jika pecahan piringnya belum bersih. Aku pun bergegas membersihkannya
dan cepat-cepat berangkat sekolah. Mau tidak mau aku harus mengayuh sepedaku
dengan cepat. Agar tidak terlambat. Bel masuk akan berbunyi ketika pukul
setengah delapan. Sedangkan sekarang sudah pukul tujuh lebih lima belas menit.
Tidak seperti kak Fica yang berangkat maupun pulang sekolah selalu diantar mama
naik mobil.
“Teett.. Teeettt…” Alhamdulillah,
Allah masih sayang terhadapku, bel masuk berbunyi ketika tepat saat aku
memasuki ruang kelas. Akhirnya aku pun bisa bernafas lega.
“Hai Nara! Kok tumben datang tepat
waktu. Biasanya satu jam sebelum pelajaran dimulai kamu udah datang.” Sapa
Dita, teman sebangkuku sekaligus sahabatku dengan heran.
“Hehehe. Gak papa kok, cuma tadi
pagi aku bangun kesiangan.”
“Oh, kirain kamu habis adu mulut
lagi sama kakak barumu itu.”
“Ah, enggak kok.”
Miss Arlene memasuki kelas. Beliau
adalah wali kelas kami. Sekaligus guru Fisika kami. Beliau sering mengingatkan
kami di kala kami gelisah. Kata beliau, “Hidup itu tidak selamanya indah. Hidup
itu bergelombang. Ada kalanya kita berada di atas di saat bahagia. Ada kalanya
juga kita berada di bawah di saat kita terinjak. Kebahagiaan akan datang pada
waktunya.” Kami sangat senang bisa mengenal orang, semulia miss Arlene.
“Good morning, Miss!” kami serentak
memberi salam untuk miss Arlene.
“Good morning, Student! Sit down!”
Miss Arlene menjawab salam kami.
“Buka buku pekerjaan rumah kalian.
Akan kita bahas bersama. Adakah yang belum mengerjakan?”
“Saya belum mengerjakan, Miss!” Rico
mengacungkan tangan.
“KEBIASAAN” kami sekelas serentak
menertawakan Rico, anak yang paling malas di kelas.
Tidak terasa jam pelajaran telah
usai. Saatnya pulang. Semoga semua kan baik-baik saja. Dan semoga kak Fica
enggak buat ulah lagi. Amienn ya Allah …
“Assalamu’alaikum. Nara pulang!”
“Wa’alaikumsalam. Nara, sudah
pulang. Cepat ganti baju dan makan siang sama mama.” Mama menjawab salamku.
Alhamdulillah mama udah baik, dan udah gak marah sama aku.
“Iya Ma, Siap! Hehehe.”
Di ruang makan.
“Nara sayang, kamu jangan mengulangi
perbuatan burukmu tadi pagi lagi, ya! Mama enggak suka kamu bertingkah
ceroboh.”
“Iya Ma. Maafin Nara, ya! Nara janji
sama mama gak akan mengulangi itu lagi.”
“Bagus deh, kalau gitu. Ayo cepat
makan!”
“Eh, iya Ma. Kak Fica mana Ma?
Tumben jam segini kok belum datang.”
“Enggak tau ya, biasanya jam 3
seperti ini, kakakmu itu udah datang.”
Sesudah makan, aku masuk kamar.
Tiba-tiba …
“Braaakk…”
“Eh, kakak udah datang? Kakak
kenapa, kok mukanya ditekuk begitu?”
“Udah deh, Nara. Ngapain kamu sok
baik di hadapan aku gitu? Gak usah sok baik deh, paling-paling kamu niatnya
cuma nyengsarain aku aja. Sana masuk kamarmu! Aku capek, mau istirahat.”
“Terserah kakak deh, mau bilang apa.
Oh ya kak, kalau lapar kakak bisa makan. Tadi udah dibuatin mama, ayam goreng
spesial buat kakak katanya.”
”Iya-iya, udah deh sana pergi!”
---SKIP TIME---
Satu tahun sudah, aku hidup dengan
keluarga baruku. Bersama kak Fica, ayah, tentu saja mama. Tidak seperti yang
aku bayangkan sebelumnya. Ternyata ayah dan kakak enggak sayang sama aku. Mama
juga sama halnya. Sudah satu tahun ini, aku selalu difitnah sama kakak, ayah
dan mama juga selalu marah sama aku. Mama dan ayah selalu saja membela kakak.
Padahal jelas-jelas kakak yang salah. Dan sekarang aku diusir dari rumah, aku
tak tahu harus pergi kemana. Aku tersesat. Mengapa mereka begitu kejamnya
terhadapku? Salahkah apa aku pada mereka? Yang harus aku kunjungi saat ini
adalah makam papaku. Aku ingat jalannya, tidak jauh dari tempatku sekarang berdiri.
Aku yakin tinggal jalan lurus ke depan dan belok ke kiri. Alhamdulillah
akhirnya ketemu juga tempat pemakamannya. Aku langsung membacakan doa untuk
papa, dan menceritakan semua yang ku alami semenjak papa tiada. Meskipun
seperti orang gila karena bicara-bicara sendiri. Yang penting aku sudah lumayan
lega, telah menceritakan semua keluhanku pada papa. Yah, meskipun juga gak ada
gunanya.
Pulang dari makam, tak tahu mengapa
tiba-tiba kepalaku pusing berat. Dan yang aku dengar saat itu hanyalah,
“Braaaakk… Astaghfirullah, suara apa
itu. Dan …” aku mendengar suara tabrakan dan suara banyak warga mendekatiku.
Dan tiba-tiba saja semuanya jadi gelap.
Aku berkedip dan terlihat seberkas
cahaya putih yang menyilaukan mata. Aku berada di ruangan yang sangat asing
bagiku. Ber-cat putih dan aromanya seperti aroma khas obat-obatan. Ketika aku
tidak sengaja menggerakkan kepala, aku pun mengernyit karena perih. Dan yang
kurasakan ada perban yang membalut dahiku.
“Alhamdulillah, kamu sudah sadar
nak. Maafkan mama ya, karena selama ini mama sudah terlalu kejam sama kamu.
Sekarang mama telah menyesal. Mama sudah tahu, apa itu arti kasih sayang antara
anak dengan ibunya dan juga sebaliknya. Maafin mama ya! semenjak papa tiada,
mama tak pernah memberikan kasih sayang terhadapmu nak. Sekali lagi maafkan
mama, ya nak!” terdengar suara mama minta maaf padaku sambil menangis
sesenggukan.
“Iya ma, Nara sudah memaafkan mama
sebelum mama meminta maaf padaku, kok. Mama tahu? Sebenarnya aku ini sangat
sayang sama mama, sama almarhum papa, dan juga sama ayah dan kakak. Aku juga
minta maaf sama mama, ya! Karena sudah menyusahkan mama selama ini.”
“Gak perlu minta maaf, nak. Karena
kamu gak pernah melakukan kesalahan sama mama. Dan mama juga baru tahu, bahwa
sebenarnya yang melakukan semua kesalahan itu adalah…”
“Aku. Iya aku, Nara. Kakakmu yang
jahat ini. Maafkan kakak ya, Nara! Kakak janji gak akan memfitnah kamu lagi.
Aku sudah menyesal, Ra. Sekarang aku sadar, bahwa kejujuran itu sangat
dibutuhkan dalam hidup. Tanpa kejujuran hidup akan sengsara. Dan satu-satunya
kunci kehidupan adalah SELALU BERKATA JUJUR. Maafkan aku juga yah, ma! Selama
ini aku hanya menyusahkan, menyusahkan, dan menyusahkan kalian saja. Sekarang
kakak sudah taubat karena Allah. Kakak ingin memiliki hati semulia dirimu Nara.
Kakak sayang padamu!” ucap kak Fica tiba-tiba.
“Iya kak, aku juga sudah memaafkan
kakak dari awal kok. Gak papa.”
“Nara sayang, ayah juga minta maaf
ya! Selama ini ayah hanya membela kakakmu terus. Ayah juga gak pernah percaya
sama kamu. Sekarang ayah juga baru sadar, bahwa kasih sayang dari orang tua ke
anak-anaknya itulah yang sangat penting. Sekali lagi, ayah minta maaf ya!” ucap
ayah tak mau kalah untuk meminta maaf padaku.
“Iya yah, Nara juga sudah memaafkan
ayah kok. Terima kasih Mama, Ayah dan Kakak yang sudah mau menyadari semuanya.
Aku sangat sayang sama kalian. Aku ingin kalian tetap bersatu. Dan selalu
kenanglah aku di sisi kalian. Selamat tinggal.” Aku pun senang dan lega bisa
mengucapkan itu semua. Sekarang aku telah pergi meninggalkan dunia dan
orang-orang yang kucintai untuk selamanya. Aku ingin sekali bertemu dengan
papa. Dan sekarang aku juga sadar. Bahwa kejujuran dan kasih sayang selalu
dibutuhkan selama kita hidup. Karena itulah satu-satunya kunci untuk menaklukkan
dunia. Kinara Az Zahra Putri.
No comments:
Post a Comment